Viralterkini.id, Jakarta – Perjuangan seorang ibu asal Manado, Ester Magdalena Kembuan, memasuki tahun keenam dalam mencari kejelasan keberadaan putri kandungnya.
Sejak bayi, anak tersebut dibawa oleh ayah biologis berinisial MC (35) yang diketahui berdomisili di Harapan Indah, Kota Bekasi dengan janji hanya sementara.
Namun janji itu tak pernah ditepati hingga kini, membuat sang ibu tidak pernah lagi bertemu dengan anak yang dilahirkannya.
Kasus ini mulai mendapat perhatian luas karena dugaan adanya pelanggaran hukum serius.
Pada Januari 2024, Ester melaporkan peristiwa itu ke Polda Metro Jaya dengan sangkaan tindak pidana sesuai Pasal 330 KUHP tentang perampasan atau penculikan anak.
Laporan tersebut kemudian dilimpahkan ke Polres Jakarta Selatan untuk ditindaklanjuti.
Dalam perjalanan kasus, aparat kepolisian telah memeriksa sejumlah saksi, mengumpulkan bukti berupa dokumen kelahiran anak, serta memanggil terlapor MC untuk menjalani pemeriksaan.
Namun, hampir dua tahun berlalu, belum ada perkembangan berarti. Status terlapor hingga kini masih belum ditetapkan sebagai tersangka.
Pada Februari 2025, Polres Jakarta Selatan sempat memfasilitasi upaya penyelesaian melalui jalur restorative justice dengan mempertemukan Ester dan MC.
Harapannya, ada jalan damai agar anak bisa kembali kepada ibunya. Namun upaya itu gagal. MC menolak mengembalikan anak, membuat pertemuan berakhir buntu. Sejak saat itu, proses hukum dinilai mandek.
“Meski sudah ada laporan resmi, pemeriksaan saksi, bahkan pertemuan mediasi, nyatanya kasus ini tidak menunjukkan progres. Enam tahun adalah waktu yang sangat panjang bagi seorang ibu untuk menunggu kepastian,” kata kuasa hukum Ester, Bonny Andalanta Tarigan, S.H.
Melihat lambannya penanganan kasus, Ester bersama kuasa hukumnya mencari dukungan dari berbagai lembaga perlindungan.
Pada 31 Juli 2025, pengaduan resmi disampaikan ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Selanjutnya pada 26 Agustus 2025, aduan juga masuk ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Tidak berhenti di situ, pada 11 September 2025 mereka mendatangi Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA).
Ketiga lembaga tersebut menyatakan akan menindaklanjuti laporan, termasuk dengan meminta klarifikasi dari Polres Jakarta Selatan serta memanggil terlapor untuk dimintai keterangan.
Dukungan dari lembaga-lembaga independen ini menjadi penting agar kasus tetap mendapat perhatian publik dan tidak terhenti di meja penyidik.
Menurut Bonny, kasus ini menyangkut kepentingan mendasar seorang ibu dan anak.
“Kami berharap penyidik berani melanjutkan proses hukum hingga tuntas. Jangan sampai perkara ini berakhir tanpa kepastian, karena ini bukan hanya soal pribadi, melainkan soal hak asasi anak yang sejak lahir dipisahkan dari ibunya,” ujarnya.
Meski menyayangkan lambannya perkembangan kasus, Bonny juga memberikan apresiasi kepada Polres Jakarta Selatan yang telah memfasilitasi pertemuan restorative justice dan merespons laporan sejak awal.
“Kami menghargai langkah Polres Jaksel yang sudah membuka ruang dialog antara korban dan terlapor. Itu menunjukkan adanya itikad baik dalam menangani perkara ini. Namun, langkah berikutnya tetap harus mengarah pada kepastian hukum yang lebih tegas,” kata Bonny.
Ia menegaskan, dukungan lembaga independen memang penting, tetapi kunci utama tetap berada di tangan aparat penegak hukum.
“Kami berharap Polres Jakarta Selatan bisa melanjutkan kerja baiknya dengan mengambil keputusan hukum yang jelas. Ini demi keadilan seorang ibu sekaligus masa depan seorang anak,” tambahnya.
Selain melalui kuasa hukum, Ester juga mengungkapkan isi hatinya. Ia sangat berharap bisa segera bertemu kembali dengan putri kandungnya setelah enam tahun berpisah.
“Saya hanya ingin anak saya kembali ke pangkuan saya. Itu doa dan harapan terbesar saya,” ucap Ester dengan mata berkaca-kaca.
Dukungan penuh juga datang dari sang suami, Raden Syahputra Alam. Ia menegaskan sejak awal menjalin hubungan dengan Ester, keterbukaan menjadi hal utama.
“Saat Ester menceritakan masa lalunya, saya langsung mendukung sepenuhnya perjuangannya untuk bertemu kembali dengan putrinya. Saya bersumpah akan merawat, menjaga, dan memberikan kehidupan yang layak bagi anak itu seperti anak kandung saya sendiri,” tegas Raden.
Kehadiran Raden menjadi penopang semangat Ester dalam memperjuangkan hak asasi sebagai seorang ibu.
Pasangan ini berharap, dengan dukungan publik dan keberpihakan hukum, impian sederhana mereka untuk berkumpul kembali sebagai keluarga bisa segera terwujud.
Keluarga korban berharap Polres Jakarta Selatan tidak menunda lebih lama proses hukum. Setelah enam tahun penantian, mereka menuntut agar kasus ini segera berlanjut ke tahap berikutnya.
“Harapan kami sederhana: seorang ibu bisa kembali memeluk anaknya, dan seorang anak bisa merasakan haknya untuk tumbuh bersama ibunya,” tegas Bonny.
Kasus ini juga menyoroti pentingnya konsistensi aparat penegak hukum dalam menangani perkara yang melibatkan anak.
Menurut pakar hukum keluarga, lambannya penanganan perkara bisa berdampak buruk terhadap pemenuhan hak anak, termasuk hak untuk mendapatkan kasih sayang, pendidikan, dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sehat.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik, terutama karena berlangsung di tengah upaya negara memperkuat perlindungan anak dan perempuan.
Dukungan dari masyarakat luas juga mulai mengalir, menuntut agar aparat bergerak lebih cepat.
“Negara harus hadir dalam kasus seperti ini. Jangan sampai seorang ibu terus menunggu tanpa kepastian. Lebih dari itu, jangan sampai seorang anak kehilangan haknya untuk dekat dengan ibu kandungnya,” kata seorang aktivis perlindungan anak.
Dengan semakin banyaknya perhatian dari berbagai pihak, keluarga berharap kasus ini tidak lagi berjalan di tempat.
Proses hukum diharapkan segera menemukan titik terang, agar enam tahun penantian seorang ibu tidak menjadi sia-sia. (ma)